Wednesday, 9 September 2015

Secerca Harapan Menunggumu

Ku pijakkan langkah demi langkah pada setapak jalan ini. Kaki ini mengalun secara perlahan, mengikuti alunan lembut udara pagi. Mega sang surya memberikan warna untuk langit dan berikan kecerahan untuk hidupku. Ku pandangi langit di atas sana, perhatikan mentari itu sedang memberikanku senyuman. Menyapaku dengan sedikit kilau cahayanya. Hamparan lembah hijau yang membentang luas, mengiringiku di setiap langkahku. Ku dengarkan kicauan burung-burung yang seakan-akan menyambutku datang. Bagaikan mereka bahagia akan kehadiranku.
“Nessa” suara panggilan itu membuyarkan lamunanku.
“Iya, ayolah berangkat.” balasku dengan senyuman.
“Loh, Sa. Kok enggak dianterin sih? Atau kenapa enggak bawa sepeda sendiri?”
“Males aja, aku pingin lewat kebun maupun sawah. La, kamu kenapa enggak dijemput pacarmu? Hehehe?” candaku.
“Nessa, aku kan sudah putus jangan begitu toh. Lah kamu sendiri kapan jadiannya? Padahal tinggal pilih loh.” goda Jessie, kemudian dia tertawa.
“Husst aku loh sudah jadian sama kamu. Hahaha,” kami berdua tertawa. “Sudahlah jangan bahas pacar lagi. Aku sudah gembira dengan hidupku yang sekarang, bisa-bisa cinta malah bikin aku menderita.”
Jessie memotong ucapanku, “Dan bisa saja merusak tali persahabatan yang telah rajut selama kita masih kecil. Hehehe tapi jangan sampai deh. Itu kan yang selalu kita ucapkan.”
Aku dan Jessie berpelukan sambil tertawa bahagia padahal hal ini sering ku lakukan. Jikalau kami ingat tentang persahabatan kami semenjak dari kecil, kami selalu melakukan hal ini.
“Hey sudahlah. Ayo berangkat!” ajakku sambil menariknya.
“Nessa, sepulang sekolah, aku jangan kamu tinggal ya?”
Aku mengangguk dan tertawa kecil. “Nanti kita bermain seperti biasanya”
“Heem, jangan bilang mau mengoleksi foto lagi ya di ladang ataupun di sawah maupun ayunan rumahku, yang paling kamu suka. Huuftt aku juga harus ikutan dong. Hahaha”
Sepanjang jalan kami banyak tertawa, banyak bercanda gurau.

Aku ingin kembali pada masa itu, saat aku selalu bersama dengan Jessie. Masih teringat jelas di pikiranku ketika aku bersenda gurau, bermain, tertawa dengannya. Kenangan itu akan terukir selamanya di ingatanku, tak akan pernah terhapuskan. Apalagi kata-kata itu, masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kata yang selalu kami ucapkan bersama-sama tentang dalamnya persahabatan kami.
Alunan ayunan ini semakin pelan. Ku biarkan tak ku pedulikan sama sekali. Mataku hanya tertuju pada langit biru yang berisi banyak kenangan tentang aku dan Jessie. Kenapa semua itu bisa terjadi? Mengapa Ikhsan harus datang dalam kehidupanku? Mengapa dia berani memutuskan tali yang telah lama kami rajut? Jessie, aku sekarang benar-benar kesepian. Hanya hembusan angin yang menemaniku di sini. Kamu sekarang berada di mana Jessie? Kenapa kamu harus pindah? Kenapa kamu tinggalkan aku sendiri di sini? Apa yang sebenarnya kamu inginkan Jessie? Apa aku harus pergi jauh dari Ikhsan? Tapi kenapa kamu harus pergi Jessie?
“Nessa ayo makan dulu!” teriakan Mama, membuyarkan bayanganku bersama Jessie.
“Ntar dulu, ma.”
“Sayang. Kamu jangan merasa bersalah begini! Mungkin orangtua Jessie sedang dipindah tugaskan. Jadi Jessie juga ikutan pindah.” Mama menghampiriku, mungkin karena Mama sudah tak tahan melihatku murung terus-menerus.
“Enggak, Mama. Aku yang salah. karena aku yang menyebabkan Jessie pindah rumah. Mama tahu sendiri kan, apa terakhir kali Jessie bilang sama aku? Aku yang telah merebut Ikhsan dari Jessie.” bentakku.
“Tapi Nessa, kamu itu kan enggak tahu. Kalau Ikhsan ternyata sudah akrab dengan Jessie. Jessie kan juga enggak pernah cerita ke kamu kan? Kalau Jessie menjalin hubungan dekat dengan Ikhsan. Dan Jessie juga enggak mau dengerin penjelasan kamu kan?” Mama mencoba menenangkanku.
“Sudahlah, Jessie itu enggak salah. Yang salah itu aku, ma. Aku yang telah hancurin harapan Jessie. Andaikan saja, aku tidak bertemu dengan Ikhsan kejadiannya tak mungkin begini. Semuanya ini aku yang salah, ma.” Aku berbicara dengan emosi tinggi dan berlari ke dalam menuju kamarku.
“Nessa” terdengar suara laki-laki memanggilku dari arah ruang tamu.
Aku membalikkan badanku dan ternyata, “Ikhsan” aku sempat terkejut.
“Ngapain kamu ada di sini? Pergi sana dari rumahku dan jangan pernah kembali, apalagi di kehidupanku!” teriakku.
“Mama, kenapa dia ada di sini? Siapa yang mengizinkannya masuk? Usir dia Mama! Sekarang kamu harus kembali pada Jessie, cari dia sampai ketemu. Lupakan aku!” Aku berteriak-teriak sambil mengeluarkan air mata yang cukup deras, meluapkan seluruh emosiku.
“Nak Ikhsan, ayo cepat jelaskan! Tante sudah enggak sanggup melihat dia kayak begini.” kata Mama lirih berbicara pada Ikhsan. “Kejar dia!”
“Nessa tunggu sebentar.” teriak Ikhsan, dia mengejarku memegang tanganku. “Nessa aku hanya ingin memberimu ini.”
Ikhsan memberiku secarik kertas, awalnya aku hanya memegangnya saja. Tapi perlahan-lahan aku membukanya. Surat itu tertanda untuk Ikhsan, tapi aku enggak tahu ini dari siapa.
“Oh benar kan? Aku yang salah?” Belum selesai ku baca suratnya, aku sudah meneteskan air mata.
“Nessa, terusin dulu dong bacanya.” jawab Ikhsan.
“Enggak usah, dari sini saja sudah ku tahu. Kalau aku yang menjadi perusak hubungan kalian.” nadaku sedikit memuncak.
“Nessa, dilihat dulu terusannya. Please!!” paksa Ikhsan.
Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Aku tak bisa mengatakan apapun, aku merasa badanku kaku tak bisa bergerak. Hanya air mata yang terus bergerak berjatuhan, semakin deras pula. Hanya isak tangisku yang memenuhi suara di ruangan ini. Semuanya hening, wajah mereka memandangiku dengan penuh belas kasih. Wajahku yang sudah pucat pasi, mengeluarkan sedikit kata.
“Sekarang, Jessie berada di rumah sakit mana?” suaraku yang tak begitu jelas terhalangi oleh isak tangisku.
Belum sempat ku dengarkan jawaban dari mereka, tiba-tiba ruangan ini menjadi samar-samar lalu sangat gelap-gulita. Habis itu aku melihat cahaya yang terang-benderang. Cahaya itu sangat menyilaukanku, sehingga aku tak bisa membukakan mataku.
“Nessa” Aku mendengar ada seseorang memanggilku. Aku memaksakan membuka mataku secara perlahan-lahan.
Aku juga mendengar sayup-sayup banyak orang yang memanggilku. Terlihat samar-samar mereka berdiri mengelilingiku.
“Mama” panggilan pertamaku.
“Sayang, kamu sudah sadar. Pasti mau nanyain di mana kamu, kamu sekarang berada di rumah sakit.” sahut Mama.
Ku perhatikan satu per satu orang yang berada di sini Mama, Papa, Kakak, Ikhsan, dan ada keluarga Jessie.
“Bukan itu ma. Jessie mana? Dia berada di kamar berapa, ma? Tapi kok semuanya berkumpul di sini, Jessie enggak ada yang jagain nanti. Ayo sekarang kita ke sana!” Aku bangun dari tempat tidurku, menarik tangan Mama.
Tapi Mama mengeluarkan air mata dan menarik tanganku kembali. Mereka semua juga mengeluarkan air mata, Mama Jessie berlari ke luar. Ini semua kenapa sih? Apa yang sedang terjadi? Sepertinya Mama tidak sanggup untuk bicara, sehingga Ikhsan mendekatiku.
“Nessa jika kamu nanti sudah ke luar. Kita akan menemui rumah Jessie yang baru. Makanya, cepet sembuh ya?” kata Ikhsan dengan lembut.
“Beneran ya? Oke, aku akan cepet sembuh.” balasku bersemangat. Ikhsan hanya mengangguk. Tapi entah mengapa, Mama malah semakin menangis.

“Nessa ayo makan dulu. Ayolah! Masa tiap hari kerjaanmu hanya di ayunan saja.” kata Mama yang berada di sebelahku.
Semenjak aku mengetahui jikalau Jessie sudah meninggal aku terus bermain di ayunan. Kadang sekolah, kadang tidak. Aku banyak tertawa, tersenyum sendiri, persis orang gila. Semua orang tak tega melihatku kayak begini, banyak juga yang sudah menasihatiku, tapi jarang ku dengar. Hanya beberapa kata-kata Ikhsan yang mau ku dengar. Aku yakin Jessie masih hidup dan akan menemuiku di ayunan ini.
Esoknya Ikhsan mengajakku ke sekolah. Awalnya aku enggak mau, tapi karena dia memaksa, akhirnya aku mau.

Aku sengaja pulang sendiri berjalan kaki, tanpa memberitahu Jessie. Haha.. Jessie aku tinggal, mungkin sekarang dia sedang mencariku. Aku memang mendengar suara sepeda motor, tapi aku harus cepat agar enggak ketahuan Jessie.
Bruggghh!! Rasanya suara itu secepat kilat, seketika itu badanku terkulai lemas dan langsung jatuh mengenai bebatuan di bawahku. Hanya warna merah yang ku lihat di tanganku, selain itu aku tak dapat ku lihat apapun. Lalu aku berusaha membuka mataku, aku hanya melihat ruangan yang berdominasi putih.
“Nessa” suara itu aku kenal. “Pulanglah, lupakan aku Nessa.”
“Jessie, enggak. Aku harus ikut kamu, bagaimanapun caranya? Aku tak ingin berpisah denganmu.” Aku langsung memeluk Jessie dan aku mengikuti Jessie masuk ke satu-satunya pintu yang di sana.
“Nessa please jangan ikuti aku! Aku ingin kamu tetap bersama keluargamu.” Jessie mendorongku menjauhi pintu itu.
“Aku menunggumu selama ini Jessie akhirnya kamu datang juga. Tapi, kenapa kamu malah menyuruhku pergi jauh darimu.” Aku berteriak sekencang-kencangnya, air mata ini terus bercucuran.
“Nessa, jangan tunggu aku ataupun cari aku! karena aku selalu di hatimu” kata terakhir yang aku dengar, sebelum Jessie masuk dalam pintu itu.
Entah ke mana, pintu itu tiba-tiba menghilang. Aku menangis dan berteriak-teriak menyebut nama, Jessie. Berulang kali.
“Sayang Nessa sadar nak” Mama memanggilku lembut.
Aku terbangun dan memeluk Mamaku.
“Alhamdulillah, Nessa dapat melalui masa kritis dan dapat terbangun dari komanya.” Dokter itu berbisik pada Papaku.
“Sayang, kamu koma selama 1 minggu. Mama sangat khawatir sama kamu.” Mama mengelus rambutku.
“Nessa bukalah lembaran baru. Ada kalanya kamu harus move on di saat lembaran lama sudah penuh. Bukan berarti lembaran lama harus kamu buang, justru kamu harus simpan itu, karena akan menjadi kenangan di masamu yang akan datang.” ucap Ikhsan yang membuatku tersenyum.


Cerpen Karangan: Diah Kumalasari
Blog: http//DiahKumala06@blogspot.com


EmoticonEmoticon