Barangkali, mataku sengaja diciptakan Tuhan sebagai perantara, agar semua yang kupandang dari sekujurmu bisa jatuh sampai ke hatiku.
Malam ini, aku membuka kembali kotak tempat semua kenanganku bersamamu. Beberapa lembar surat darimu, sebuah kalung bertuliskan namamu, dan yang menjadi perhatianku adalah cincin pertunangan kita. Sepasang cincin perak dengan ukiran lumba-lumba kau pilih, karena kesukaanmu terhadap mamalia laut tersebut. Tanpa kusadari air mata perlahan menggenangi kelopak mataku, mengajakku kembali pada kisah yang tak pernah kuharapkan akan berujung secepat ini.
Aku masih ingat jawabanmu, kala kutanya kenapa kau sungguh menyukai lumba-lumba, katamu waktu itu, lumba-lumba adalah hewan yang sungguh baik, dia suka menolong manusia yang tersesat atau terapung di lautan, dan itulah makna kita bagimu, kau berharap kita bisa saling menyelamatkan kala masing-masing kita terseret arus dunia. Sungguh sebuah alasan yang manis. Dan apakah kau sudah lupa cara menyelamatkanku, sayang?
Ini adalah hal yang kerap kali aku lakukan. Bahkan, membuka kotak ini, tak hanya ketika aku begitu merindukanmu, seringkali aku sengaja membukanya, untuk masuk pada tiap-tiap kenangan yang ada pada masing-masing benda tersebut. Apa yang bisa aku lakukan, selain tetap menjaga semua; kenangan kita, namamu, juga mengingat bagaimana caramu merindukan dan mencintaimu. Aku tetap melakukan ini, membuka kotak ini. Jika ada yang bertanya sampai kapan aku akan seperti ini? Aku akan jawab; sampai entah. Karena di sana aku selalu mampu melihat; cintaku yang masih sama, masih bara, kamu tahu maupun tidak.
Terlihat bodoh, memang. Terserah kau atau orang lain menilai bagaimana, asal jangan kau larang aku membuka kembali kotak ini dan menikmati setiap kenangan di dalamnya.
Ibu jariku masih saja sering meraba jari manis, sebuah tempat dimana dulu kau pasangkan lambang ikatan kita, yang kini hanya berupa garis pucat karena lama tak tersentuh sinar matahari, aku memutuskan tak lagi memakainya semenjak kepergianmu, aku tak lagi sanggup, sayang.
Tak hanya itu, pun rengkuhmu masih terasa nyata kala aku berdiam seperti sekarang, aromamu masih melekat di sekeliling kamarku, rasanya aku masih sanggup melihatmu bergerak ke sana ke mari, seakan di sini adalah rumahmu, hampir saja aku percaya kau masih ada, jika tak kutemukan hampa kala aku membuka mata.
Aku sungguh tak pernah berani membayangkan kehilanganmu, kamu, yang padamu aku sanggup telanjang tanpa bertopeng, kamu, yang di hadapanmu aku tak perlu palsu, kamu, satu-satunya yang tau cara meredakan amarahku, kamu, satu-satunya yang menggenggam hatiku dan meremukkannya menjadi kepingan-kepingan menyedihkan. Seharusnya aku membencimu, menyumpahimu dengan koleksi kata-kata serapah karena kau tak mampu menuntaskan janjimu yang akan selalu ada buatku di hadapan Ayahku, atau menanamkan dendam dan segala yang buruk. Tapi kau tahu, bahkan untuk memadamkan rindu pun aku tak sanggup. Dan di sinilah aku, dengan segala kenangan yang kau wariskan. Sekali lagi berdiri di tempat yang sama, dan mengenang hal yang sama, kamu.
Kotak cincin yang kau beri adalah pintu yang terbuka untuk langkah kita. Penanda terpautnya cinta pada sebentuk janji yang halal. Setelahnya, kotak besar yang berdiri teguh di pojok kamar kita, kunamai lemari. Tak hanya menyimpan kemeja kerjamu bahkan gamisku. Tapi penyimpanan terbaik untuk segala jejak peluk serta belai yang tertinggal pada setiap kain-kain pakaian kita. Sekalipun kucuci dengan deterjen anti noda, sebentuk kecupku terlukis pada lipatan kerah kemeja kerjamu.
Setelah itu, setelah kepergianmu, setelah perpisahan kita. Aku tak lain adalah daun yang ikut gugur pada musim kemarau. Bukan tentang perasaan baikku padamu yang hilang, tapi perasaan-perasaan buruk yang kerap bertandang di kepalaku, dengan begitu saja pergi. Lalu tetap tumbuh lagi, dengan perasaan perasaan baru yang lebih segar, yang masih tentangmu.
Entah mengapa kata tidak sanggup selalu muncul menghalangi langkahku tiap kali berniat melupakanmu—kau terlalu indah untuk dilupakan dan tak pantas dilupakan. Setiap inci darimu adalah keindahan, lebih indah dari bunga yang bemerkaran di taman kecil samping rumah ini yang kita ciptakan dan kita rawat seperti buah hati kita sendiri. Seperti kataku saat itu Sayang, “Aku yakin kita akan menjadi orang tua yang solid untuk membimbing anak-anak kita nanti.” Tapi apa Sayang? Bahkan belum sampai kita berangan akan diberi apa nama anak-anak kita saja kau telah membuatku menjadi orang tua yang pincang.
Hingga aku tak lagi menyadari, betapa tak nikmatnya lagi kopi ketika kau disampingku.
Dulu, semua serba manis. Kopi paling pahit yang aku nikmati pun terasa manis saat bersamamu. Saat ini semua serba semu, bahkan aku tak lagi mampu menikmati kopi yang menjadi minuman favoritku sejak bertemu denganmu di kedai kopi di ujung jalan itu.
Ah, kopi, satu hal yang sungguh erat kaitannya denganmu. Aku adalah penggila kopi racikan tanganmu, entah lidahku yang tak lagi peka, atau memang kopi racikanmu adalah yang terhebat, sampai kini aku tak menemukan jawabannya. Jangan tanya lagi bagaimana rasa kopi di cangkirku sekarang. Bahkan hingga kepulnya lenyap, tak satu senti-pun cairan hitam pekat itu berkurang. Aku tak lagi menganggap kopi adalah minuman dewa, tentu saja karena kopi ini bukan racikan tanganmu. Bahkan kopiku-pun merindukan sentuhan tanganmu, bagaimana denganku? Banyak yan tak bisa menerima kehilangan dengan pasrah, bahkan cenderung menghujat Tuhan
Meski aku tak lagi memiliki waktu bertemu denganmu, aku selalu menantikan satu hari spesial dalam seminggu. Saat malam dalam hari itu, aku sebut sebagai “Hari Hadiahmu”, di mana aku melantunkan ayat suci dan do’a tulus yang kupersembahkan untukmu, sayangku, keindahanku.
Inilah saat-saat aku mulai memahami sebuah kalimat mematikan, mungkin pelukan terbaik saat kita tengah dibentang jarak ialah doa untukmu dalam setiap sujud. Sesuatu yang hangat mengalir lembut di pipiku. Kotak kenangan itu kembali terbuka, namun bukan lagi cincin dengan ukiran lumba atau kalung bertuliskan namamu yang kulihat. Melainkan kegigihanmu mempertahankanku. Aku masih ingat betul bagaimana kedua orang tuamu menentang kehadiranku. Apa yang diharapkan dari laki-laki macamku? Begitu kata mereka. Sungguh saat itu aku hampir kehilangan tujuan hidup, bahwa sesungguhnya tujuan hidupku ini ialah membangun masa depan denganmu dan mewujudkan mimpi-mimpi klasik kebanyakan orang. Menyuntingmu, membeli rumah mungil, mempunyai anak yang cantik pun tampan serta memelihara beberapa hewan yang lucu. Betapa aku berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi biruk di siang bolong. Namun perjuanganmu kala itu, mampu membuatku jatuh cinta berkali-kali setiap hari.
Aku masih terpaku di depan sebuah nisan bertuliskan namamu di satu sudut kamarku, ketika sebuah petir seperti berteriak tepat di telingaku. Hujan malam ini tak menghalangi niatku; mengunjungi kota tempatmu tinggal. Ya, aku masih ingat bagaimana kau membisikkan keinginanmu sebelum Izrail menjemputmu dengan senyum.
Aku tahu suratku ini tak akan pernah sampai ke tempat di mana kau tinggal sekarang. Namun aku yakin bahwa semesta akan menyampaikan padamu bahwa aku di sini tak pernah berhenti mendoakanmu bahkan ketika suatu hari nanti saat kutemukan perempuan yang akan menggantikan posisimu sebagai ibu dari anak-anakku. Aku juga percaya, suatu hari nanti aku dapat kembali bertemu denganmu, merasakan kembali aroma tubuhmu dan menjatuhkan pelukku lagi
Malam ini, aku membuka kembali kotak tempat semua kenanganku bersamamu. Beberapa lembar surat darimu, sebuah kalung bertuliskan namamu, dan yang menjadi perhatianku adalah cincin pertunangan kita. Sepasang cincin perak dengan ukiran lumba-lumba kau pilih, karena kesukaanmu terhadap mamalia laut tersebut. Tanpa kusadari air mata perlahan menggenangi kelopak mataku, mengajakku kembali pada kisah yang tak pernah kuharapkan akan berujung secepat ini.
Aku masih ingat jawabanmu, kala kutanya kenapa kau sungguh menyukai lumba-lumba, katamu waktu itu, lumba-lumba adalah hewan yang sungguh baik, dia suka menolong manusia yang tersesat atau terapung di lautan, dan itulah makna kita bagimu, kau berharap kita bisa saling menyelamatkan kala masing-masing kita terseret arus dunia. Sungguh sebuah alasan yang manis. Dan apakah kau sudah lupa cara menyelamatkanku, sayang?
Ini adalah hal yang kerap kali aku lakukan. Bahkan, membuka kotak ini, tak hanya ketika aku begitu merindukanmu, seringkali aku sengaja membukanya, untuk masuk pada tiap-tiap kenangan yang ada pada masing-masing benda tersebut. Apa yang bisa aku lakukan, selain tetap menjaga semua; kenangan kita, namamu, juga mengingat bagaimana caramu merindukan dan mencintaimu. Aku tetap melakukan ini, membuka kotak ini. Jika ada yang bertanya sampai kapan aku akan seperti ini? Aku akan jawab; sampai entah. Karena di sana aku selalu mampu melihat; cintaku yang masih sama, masih bara, kamu tahu maupun tidak.
Terlihat bodoh, memang. Terserah kau atau orang lain menilai bagaimana, asal jangan kau larang aku membuka kembali kotak ini dan menikmati setiap kenangan di dalamnya.
Ibu jariku masih saja sering meraba jari manis, sebuah tempat dimana dulu kau pasangkan lambang ikatan kita, yang kini hanya berupa garis pucat karena lama tak tersentuh sinar matahari, aku memutuskan tak lagi memakainya semenjak kepergianmu, aku tak lagi sanggup, sayang.
Tak hanya itu, pun rengkuhmu masih terasa nyata kala aku berdiam seperti sekarang, aromamu masih melekat di sekeliling kamarku, rasanya aku masih sanggup melihatmu bergerak ke sana ke mari, seakan di sini adalah rumahmu, hampir saja aku percaya kau masih ada, jika tak kutemukan hampa kala aku membuka mata.
Aku sungguh tak pernah berani membayangkan kehilanganmu, kamu, yang padamu aku sanggup telanjang tanpa bertopeng, kamu, yang di hadapanmu aku tak perlu palsu, kamu, satu-satunya yang tau cara meredakan amarahku, kamu, satu-satunya yang menggenggam hatiku dan meremukkannya menjadi kepingan-kepingan menyedihkan. Seharusnya aku membencimu, menyumpahimu dengan koleksi kata-kata serapah karena kau tak mampu menuntaskan janjimu yang akan selalu ada buatku di hadapan Ayahku, atau menanamkan dendam dan segala yang buruk. Tapi kau tahu, bahkan untuk memadamkan rindu pun aku tak sanggup. Dan di sinilah aku, dengan segala kenangan yang kau wariskan. Sekali lagi berdiri di tempat yang sama, dan mengenang hal yang sama, kamu.
Kotak cincin yang kau beri adalah pintu yang terbuka untuk langkah kita. Penanda terpautnya cinta pada sebentuk janji yang halal. Setelahnya, kotak besar yang berdiri teguh di pojok kamar kita, kunamai lemari. Tak hanya menyimpan kemeja kerjamu bahkan gamisku. Tapi penyimpanan terbaik untuk segala jejak peluk serta belai yang tertinggal pada setiap kain-kain pakaian kita. Sekalipun kucuci dengan deterjen anti noda, sebentuk kecupku terlukis pada lipatan kerah kemeja kerjamu.
Setelah itu, setelah kepergianmu, setelah perpisahan kita. Aku tak lain adalah daun yang ikut gugur pada musim kemarau. Bukan tentang perasaan baikku padamu yang hilang, tapi perasaan-perasaan buruk yang kerap bertandang di kepalaku, dengan begitu saja pergi. Lalu tetap tumbuh lagi, dengan perasaan perasaan baru yang lebih segar, yang masih tentangmu.
Entah mengapa kata tidak sanggup selalu muncul menghalangi langkahku tiap kali berniat melupakanmu—kau terlalu indah untuk dilupakan dan tak pantas dilupakan. Setiap inci darimu adalah keindahan, lebih indah dari bunga yang bemerkaran di taman kecil samping rumah ini yang kita ciptakan dan kita rawat seperti buah hati kita sendiri. Seperti kataku saat itu Sayang, “Aku yakin kita akan menjadi orang tua yang solid untuk membimbing anak-anak kita nanti.” Tapi apa Sayang? Bahkan belum sampai kita berangan akan diberi apa nama anak-anak kita saja kau telah membuatku menjadi orang tua yang pincang.
Hingga aku tak lagi menyadari, betapa tak nikmatnya lagi kopi ketika kau disampingku.
Dulu, semua serba manis. Kopi paling pahit yang aku nikmati pun terasa manis saat bersamamu. Saat ini semua serba semu, bahkan aku tak lagi mampu menikmati kopi yang menjadi minuman favoritku sejak bertemu denganmu di kedai kopi di ujung jalan itu.
Ah, kopi, satu hal yang sungguh erat kaitannya denganmu. Aku adalah penggila kopi racikan tanganmu, entah lidahku yang tak lagi peka, atau memang kopi racikanmu adalah yang terhebat, sampai kini aku tak menemukan jawabannya. Jangan tanya lagi bagaimana rasa kopi di cangkirku sekarang. Bahkan hingga kepulnya lenyap, tak satu senti-pun cairan hitam pekat itu berkurang. Aku tak lagi menganggap kopi adalah minuman dewa, tentu saja karena kopi ini bukan racikan tanganmu. Bahkan kopiku-pun merindukan sentuhan tanganmu, bagaimana denganku? Banyak yan tak bisa menerima kehilangan dengan pasrah, bahkan cenderung menghujat Tuhan
Meski aku tak lagi memiliki waktu bertemu denganmu, aku selalu menantikan satu hari spesial dalam seminggu. Saat malam dalam hari itu, aku sebut sebagai “Hari Hadiahmu”, di mana aku melantunkan ayat suci dan do’a tulus yang kupersembahkan untukmu, sayangku, keindahanku.
Inilah saat-saat aku mulai memahami sebuah kalimat mematikan, mungkin pelukan terbaik saat kita tengah dibentang jarak ialah doa untukmu dalam setiap sujud. Sesuatu yang hangat mengalir lembut di pipiku. Kotak kenangan itu kembali terbuka, namun bukan lagi cincin dengan ukiran lumba atau kalung bertuliskan namamu yang kulihat. Melainkan kegigihanmu mempertahankanku. Aku masih ingat betul bagaimana kedua orang tuamu menentang kehadiranku. Apa yang diharapkan dari laki-laki macamku? Begitu kata mereka. Sungguh saat itu aku hampir kehilangan tujuan hidup, bahwa sesungguhnya tujuan hidupku ini ialah membangun masa depan denganmu dan mewujudkan mimpi-mimpi klasik kebanyakan orang. Menyuntingmu, membeli rumah mungil, mempunyai anak yang cantik pun tampan serta memelihara beberapa hewan yang lucu. Betapa aku berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi biruk di siang bolong. Namun perjuanganmu kala itu, mampu membuatku jatuh cinta berkali-kali setiap hari.
Aku masih terpaku di depan sebuah nisan bertuliskan namamu di satu sudut kamarku, ketika sebuah petir seperti berteriak tepat di telingaku. Hujan malam ini tak menghalangi niatku; mengunjungi kota tempatmu tinggal. Ya, aku masih ingat bagaimana kau membisikkan keinginanmu sebelum Izrail menjemputmu dengan senyum.
Aku tahu suratku ini tak akan pernah sampai ke tempat di mana kau tinggal sekarang. Namun aku yakin bahwa semesta akan menyampaikan padamu bahwa aku di sini tak pernah berhenti mendoakanmu bahkan ketika suatu hari nanti saat kutemukan perempuan yang akan menggantikan posisimu sebagai ibu dari anak-anakku. Aku juga percaya, suatu hari nanti aku dapat kembali bertemu denganmu, merasakan kembali aroma tubuhmu dan menjatuhkan pelukku lagi
EmoticonEmoticon